Isu perubahan iklim dalam dua dekade terakhir menjadi pusat perhatian dunia. Hampir setiap negara, perusahaan, hingga individu kini berlomba menunjukkan komitmen terhadap lingkungan. Mulai dari kampanye penghijauan, pembangunan energi terbarukan, hingga skema offset karbon. Namun, di balik semangat yang tampak hijau itu, terselip sebuah fenomena yang semakin mendapat sorotan tajam: greenwashing iklim.
Greenwashing merujuk pada praktik ketika sebuah perusahaan atau institusi mengklaim diri ramah lingkungan, padahal langkah yang mereka lakukan tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan. Dalam konteks mitigasi iklim, fenomena ini menjadi lebih rumit karena banyak proyek yang digadang-gadang sebagai solusi justru menimbulkan masalah baru, terutama bagi keanekaragaman hayati.
Artikel ini akan membedah bagaimana proyek-proyek mitigasi tertentu, seperti pembangunan pembangkit energi terbarukan, penanaman hutan monokultur, dan inisiatif karbon, bisa berbalik arah menjadi ancaman bagi kehidupan alam liar.
Energi Terbarukan yang Tidak Selalu Ramah Lingkungan
Energi terbarukan sering dipuji sebagai jawaban untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Pembangunan ladang panel surya, turbin angin, hingga bendungan hidroelektrik menjadi simbol transisi energi bersih. Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana itu.
Di berbagai belahan dunia, pembangunan infrastruktur energi terbarukan dilakukan dalam skala masif tanpa mempertimbangkan lokasi dan dampak ekologis. Misalnya, ladang panel surya raksasa yang dibangun di kawasan padang rumput alami. Lahan yang sebelumnya menjadi habitat bagi burung migran, serangga penyerbuk, dan mamalia kecil, harus hilang berganti dengan hamparan kaca dan logam. Alih-alih menyelamatkan planet, proyek ini justru memutus rantai ekosistem.
Turbin angin pun tidak lepas dari kontroversi. Walaupun menghasilkan listrik bebas emisi, banyak penelitian menunjukkan bahwa turbin angin yang dipasang di jalur migrasi burung dapat menyebabkan peningkatan angka kematian burung dan kelelawar. Bahkan, di beberapa negara, populasi spesies tertentu terancam akibat benturan dengan baling-baling turbin yang berputar kencang.
Hal serupa terjadi pada bendungan hidroelektrik. Bendungan memang bisa menghasilkan listrik dalam jumlah besar, tetapi biaya ekologisnya sangat tinggi. Bendungan memutus aliran alami sungai, menghalangi migrasi ikan, merusak ekosistem perairan, dan menenggelamkan hutan serta pemukiman. Ketika air menggenangi area luas, pelepasan metana dari vegetasi yang membusuk juga menjadi persoalan baru yang jarang dibicarakan.
Dengan kata lain, energi terbarukan memang penting, tetapi jika perencanaannya hanya berorientasi pada angka kapasitas listrik tanpa memperhatikan ekosistem, maka hasilnya bisa berbalik menjadi bumerang.
Skema Offset Karbon: Solusi atau Ilusi?
Selain pembangunan energi terbarukan, tren global lain adalah offset karbon. Konsepnya sederhana: setiap emisi yang dilepaskan bisa ditebus dengan menanam pohon atau membiayai proyek hijau di tempat lain. Banyak perusahaan besar mengandalkan skema ini untuk mengklaim diri sebagai “net zero”.
Namun, di balik gagasan yang terdengar mulia itu, muncul banyak kritik. Salah satu masalah utama adalah proyek reboisasi yang dilakukan dengan monokultur. Alih-alih menanam kembali hutan alami yang beragam, banyak proyek justru menanam pohon sejenis dalam jumlah masif, seperti eukaliptus atau akasia.
Pohon-pohon ini memang cepat tumbuh dan bisa menyerap karbon dalam jangka pendek, tetapi mereka tidak menyediakan habitat yang kompleks bagi satwa liar. Burung, mamalia, reptil, dan serangga sering kali tidak bisa bertahan hidup di hutan buatan ini. Selain itu, pohon monokultur rentan terhadap hama dan penyakit, sehingga dalam jangka panjang bisa menimbulkan kerugian ekologis yang besar.
Tidak hanya itu, beberapa proyek offset karbon juga dilakukan di lahan yang sebelumnya digunakan masyarakat lokal untuk bertani atau menggembala. Akibatnya, terjadi konflik sosial antara kebutuhan masyarakat dengan proyek yang diklaim sebagai penyelamat iklim.
Skema offset karbon, jika tidak dirancang dengan cermat, hanya menjadi bentuk greenwashing terstruktur. Perusahaan bisa terus menghasilkan emisi tinggi, lalu menebusnya dengan menanam pohon di wilayah lain, padahal kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Kehilangan Biodiversitas: Bahaya yang Sering Terabaikan
Salah satu dampak paling serius dari greenwashing iklim adalah hilangnya keanekaragaman hayati. Padahal, biodiversitas adalah fondasi ekosistem bumi. Dari penyerbukan tanaman, pengendalian hama alami, hingga siklus nutrisi tanah—semua bergantung pada keragaman spesies yang hidup berdampingan.
Ketika sebuah kawasan alami digantikan dengan proyek mitigasi yang tidak tepat, kita tidak hanya kehilangan pohon atau hewan tertentu, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem. Misalnya, hilangnya serangga penyerbuk bisa berdampak pada produksi pangan manusia. Punahnya predator alami bisa memicu ledakan populasi hama yang merugikan pertanian.
Lebih jauh lagi, biodiversitas juga memiliki nilai intrinsik: setiap spesies memiliki hak untuk hidup. Mengorbankan mereka atas nama “iklim” tanpa perencanaan matang berarti mengabaikan hak dasar tersebut.
Mengapa Greenwashing Bisa Terjadi?
Fenomena greenwashing iklim bukan sekadar kesalahan teknis. Ada faktor ekonomi, politik, dan sosial yang memperkuat praktik ini.
-
Tekanan Pasar dan Citra Perusahaan
Perusahaan besar ingin terlihat hijau agar tetap relevan di mata konsumen. Maka, mereka memilih proyek yang bisa dipasarkan dengan mudah, walau substansinya lemah. -
Kurangnya Regulasi Global
Banyak negara belum memiliki aturan ketat yang menilai dampak ekologis dari proyek mitigasi iklim. Akibatnya, perusahaan bebas menentukan standar sendiri. -
Orientasi Jangka Pendek
Proyek mitigasi sering dikejar hasil cepat untuk laporan tahunan atau konferensi iklim. Padahal, menjaga ekosistem butuh rencana jangka panjang. -
Minimnya Partisipasi Masyarakat Lokal
Banyak proyek dibangun tanpa mendengar suara masyarakat yang tinggal di area terdampak. Padahal, mereka memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga untuk keberlanjutan ekosistem.
Menuju Solusi: Mitigasi Iklim yang Berkeadilan Ekologis
Untuk keluar dari jebakan greenwashing, diperlukan pendekatan yang lebih holistik. Beberapa prinsip penting yang harus ditegakkan adalah:
-
Integrasi Mitigasi dan Konservasi
Proyek energi terbarukan harus mempertimbangkan peta migrasi satwa, jalur ekosistem, dan keanekaragaman hayati sejak tahap perencanaan. -
Restorasi Hutan Alami, Bukan Monokultur
Reboisasi sebaiknya meniru struktur hutan alami dengan beragam spesies pohon, bukan sekadar menanam satu jenis untuk kepentingan karbon. -
Transparansi dan Akuntabilitas
Perusahaan dan pemerintah perlu membuka data tentang dampak ekologis proyek mitigasi, bukan hanya data penurunan emisi. -
Keterlibatan Masyarakat Lokal
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan proyek harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dengan begitu, solusi yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan lokal. -
Fokus pada Pengurangan Emisi, Bukan Kompensasi
Offset karbon seharusnya hanya menjadi langkah tambahan, bukan pengganti upaya mengurangi emisi di sumbernya.
Kesimpulan
Greenwashing iklim adalah paradoks besar di era krisis lingkungan. Di satu sisi, dunia membutuhkan aksi cepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, jika tindakan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan biodiversitas dan keseimbangan ekosistem, maka hasilnya bisa kontraproduktif.
Energi terbarukan, reboisasi, dan offset karbon memang penting, tetapi harus dirancang dengan bijak. Planet ini bukan sekadar angka di laporan emisi, melainkan rumah bagi jutaan spesies yang saling bergantung. Mitigasi iklim sejati bukan hanya tentang menurunkan karbon, tetapi juga menjaga keberagaman hidup yang menjadi penopang bumi.
Jika kita gagal melihat hubungan ini, maka upaya melawan perubahan iklim bisa berubah menjadi ancaman baru yang sama berbahayanya.