Pendahuluan
Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan. Ia sudah menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh manusia di Bumi. Gelombang panas ekstrem, banjir besar, kekeringan berkepanjangan, hingga naiknya permukaan laut kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di banyak negara. Namun, dampak terbesar justru dirasakan oleh negara-negara kecil dan berkembang yang kontribusinya terhadap emisi karbon global sangat kecil.
Dalam konteks inilah, Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ) mengambil langkah penting yang dianggap sebagai titik balik dalam sejarah hukum global. ICJ baru-baru ini mengeluarkan pendapat hukum (advisory opinion) yang menyatakan bahwa negara-negara memiliki kewajiban hukum internasional untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak asasi manusia dari dampak perubahan iklim. Lebih jauh, pengadilan ini juga membuka kemungkinan bagi negara yang paling terdampak untuk menuntut “reparasi iklim” atau kompensasi dari negara-negara penghasil emisi terbesar.
Langkah ini dipandang sebagai terobosan besar dalam perjuangan keadilan iklim global — bukan hanya secara moral, tapi juga dari sisi hukum internasional.
Latar Belakang: Dari Krisis Lingkungan ke Krisis Hukum
Selama beberapa dekade, isu perubahan iklim didominasi oleh perdebatan politik dan ekonomi. Banyak negara maju mengakui adanya pemanasan global, tetapi enggan menanggung tanggung jawab langsung terhadap kerusakan yang sudah terjadi. Negara-negara berkembang seperti Vanuatu, Fiji, dan Maladewa — yang kini menghadapi ancaman nyata tenggelamnya wilayah mereka akibat naiknya permukaan laut — telah lama menuntut agar dunia internasional tidak hanya berbicara soal pengurangan emisi, tetapi juga soal keadilan dan tanggung jawab.
Pada tahun 2023, sekelompok negara kepulauan kecil (Small Island Developing States) mengajukan permintaan resmi kepada ICJ untuk memberikan pendapat hukum tentang tanggung jawab negara terhadap perubahan iklim. Setelah melalui proses panjang, pada tahun 2025 ICJ akhirnya mengeluarkan pendapat resminya.
Isi pendapat tersebut menegaskan bahwa:
-
Negara memiliki kewajiban hukum internasional untuk mencegah dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
-
Kegagalan untuk melakukannya dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
-
Negara yang menderita kerugian akibat kelalaian negara lain dalam menangani perubahan iklim dapat menuntut reparasi atau kompensasi.
Pendapat ini tidak bersifat mengikat seperti keputusan pengadilan biasa, tetapi memiliki dampak moral dan hukum yang sangat kuat. Banyak pakar menyebutnya sebagai “pijakan pertama menuju sistem tanggung jawab iklim internasional.”
Makna Reparasi Iklim
Istilah reparasi iklim mengacu pada tanggung jawab negara atau entitas yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan global untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang terdampak. Bentuknya bisa bermacam-macam — mulai dari bantuan finansial, transfer teknologi ramah lingkungan, hingga dukungan pembangunan infrastruktur hijau.
Gagasan reparasi ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak lama, prinsip tanggung jawab lingkungan telah dikenal dalam hukum internasional melalui asas polluter pays atau “siapa yang mencemari, harus membayar.” Namun, baru kali ini prinsip itu dikaitkan langsung dengan perubahan iklim secara global.
Dengan pendapat ICJ, negara seperti Vanuatu atau Kiribati kini memiliki landasan hukum untuk menuntut kompensasi kepada negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau negara-negara Eropa — yang memiliki sejarah panjang sebagai penghasil emisi karbon terbesar di dunia.
Peran Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional, yang bermarkas di Den Haag, Belanda, adalah lembaga hukum tertinggi di dunia yang menangani sengketa antarnegara. Biasanya, ICJ mengeluarkan dua jenis keputusan:
-
Putusan hukum yang mengikat, bila ada kasus konkret antarnegara.
-
Pendapat hukum (advisory opinion), yang bersifat tidak mengikat tetapi dapat menjadi acuan penting bagi hukum internasional.
Dalam kasus ini, pendapat yang dikeluarkan ICJ bersifat advisory, tetapi dampaknya bisa sangat luas. Pendapat ini akan digunakan oleh organisasi internasional seperti PBB, COP (Conference of Parties), dan pengadilan regional untuk menekan negara-negara besar agar memperkuat komitmen iklim mereka.
Selain itu, ICJ juga memberikan dasar bagi pengadilan nasional dan regional untuk menegakkan tanggung jawab lingkungan terhadap pemerintah maupun perusahaan. Banyak pengamat percaya, keputusan ini akan menginspirasi gelombang baru gugatan hukum iklim di seluruh dunia.
Dampak bagi Negara-Negara Kecil dan Berkembang
Negara-negara kecil dan berkembang adalah pihak yang paling diuntungkan dari pendapat ICJ ini. Selama ini, mereka menghadapi tantangan ganda: di satu sisi menjadi korban perubahan iklim, di sisi lain tidak punya kekuatan politik atau ekonomi untuk menuntut keadilan.
Dengan adanya landasan hukum internasional baru ini, negara-negara tersebut kini memiliki senjata diplomatik dan hukum untuk menekan negara maju agar memberikan kompensasi dan dukungan nyata. Misalnya:
-
Vanuatu dan Kiribati dapat menuntut bantuan untuk relokasi penduduk akibat kenaikan permukaan laut.
-
Negara-negara Afrika Timur yang mengalami kekeringan ekstrem bisa meminta kompensasi atas hilangnya hasil pertanian.
-
Bangladesh yang sering dilanda banjir besar bisa mengajukan permintaan reparasi atas kerugian ekonomi dan sosial yang terjadi.
Selain itu, keputusan ini juga dapat memperkuat mekanisme pendanaan iklim global, seperti Loss and Damage Fund yang dibahas dalam konferensi iklim PBB. Dana ini diharapkan menjadi bentuk nyata dari reparasi iklim di tingkat internasional.
Reaksi Dunia Internasional
Respons terhadap pendapat ICJ ini beragam. Negara-negara berkembang menyambutnya dengan antusias, menyebutnya sebagai “kemenangan bagi keadilan iklim.” Banyak aktivis lingkungan dan organisasi masyarakat sipil juga memuji langkah tersebut sebagai langkah bersejarah.
Namun, beberapa negara besar masih menunjukkan sikap hati-hati. Mereka khawatir bahwa pendapat ICJ ini akan membuka pintu bagi gelombang gugatan hukum terhadap pemerintah dan perusahaan besar, terutama di sektor energi fosil. Di sisi lain, sektor swasta mulai memperhitungkan risiko hukum baru ini dalam kebijakan investasi mereka.
Beberapa perusahaan multinasional bahkan mulai memperkuat program tanggung jawab sosial dan keberlanjutan (ESG) mereka, untuk mengantisipasi tekanan publik dan potensi tuntutan hukum di masa depan.
Tantangan dan Hambatan
Meski menjadi langkah besar, pendapat ICJ ini bukan tanpa tantangan.
Pertama, pendapat hukum ICJ tidak bersifat mengikat, sehingga pelaksanaannya bergantung pada kemauan politik negara-negara terkait. Tanpa komitmen nyata, pendapat ini bisa berakhir hanya sebagai simbol moral semata.
Kedua, sulit menentukan berapa besar kerugian iklim dan siapa yang harus bertanggung jawab secara proporsional. Misalnya, bagaimana menghitung dampak dari ratusan tahun pembakaran batu bara di Eropa terhadap banjir di Asia Selatan saat ini? Atau siapa yang harus membayar ketika kerusakan disebabkan oleh banyak negara sekaligus?
Ketiga, mekanisme pembayaran reparasi masih belum jelas. Diperlukan lembaga internasional yang kuat untuk menilai, mengelola, dan menyalurkan dana kompensasi agar tidak terjadi ketimpangan baru.
Namun, di balik semua tantangan itu, banyak pihak optimis bahwa keputusan ICJ akan menjadi titik awal menuju sistem hukum iklim global yang lebih adil dan tegas.
Implikasi Jangka Panjang
Pendapat ICJ berpotensi mengubah lanskap hukum internasional dalam beberapa cara penting:
-
Mendorong negara-negara untuk memperkuat target pengurangan emisi.
Karena sekarang kegagalan mencapai target bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. -
Memperkuat posisi hukum masyarakat sipil dan komunitas terdampak.
Aktivis lingkungan kini punya dasar hukum lebih kuat untuk menggugat pemerintah atau perusahaan. -
Mendorong munculnya “hukum iklim” baru di tingkat nasional.
Banyak negara mungkin akan memperbarui undang-undang lingkungan mereka agar sejalan dengan prinsip ICJ. -
Mengubah paradigma pembangunan ekonomi global.
Negara-negara industri akan semakin dituntut untuk mengubah arah investasinya menuju energi bersih dan teknologi hijau.
Kesimpulan
Langkah Mahkamah Internasional dalam membuka jalan bagi reparasi iklim merupakan tonggak bersejarah dalam perjuangan global melawan perubahan iklim. Ini bukan sekadar keputusan hukum, tetapi juga pernyataan moral bahwa keadilan lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Bumi telah lama menanggung akibat dari industrialisasi tanpa batas. Sekarang, dunia mulai menuntut tanggung jawab dari mereka yang paling berperan dalam merusaknya. Pendapat ICJ memberi harapan baru — bahwa di masa depan, tidak ada negara yang terlalu kecil untuk didengar, dan tidak ada negara yang terlalu besar untuk dimintai pertanggungjawaban.
Langkah ini mungkin baru permulaan, tetapi ia menandai perubahan besar: dari wacana menuju tindakan, dari janji menuju keadilan.