Pendahuluan
Dunia sains dan teknologi tidak lagi berdiri di ruang hampa. Jika dahulu riset ilmiah dianggap sebagai bidang yang netral dan bebas dari kepentingan politik, kini hal itu berubah secara drastis. Ketegangan geopolitik yang meningkat antara berbagai kekuatan global — seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa — telah menciptakan pergeseran besar dalam arah kebijakan riset dan inovasi.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan terbarunya Science, Technology, and Innovation Outlook 2025 menyoroti bagaimana riset dan inovasi (R&I) kini tidak hanya berorientasi pada kemajuan ilmiah semata, tetapi juga semakin terikat dengan kepentingan keamanan nasional, ekonomi, dan kemandirian strategis. Laporan ini menunjukkan perubahan mendasar dalam cara negara-negara besar mengelola, mendanai, dan mengarahkan penelitian mereka di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.
1. Sains Tidak Lagi Netral: Dari Kolaborasi ke Kompetisi
Selama beberapa dekade terakhir, sains internasional berkembang di bawah semangat kolaborasi global. Banyak proyek riset lintas negara seperti CERN, ISS (International Space Station), dan Human Genome Project menjadi simbol kerja sama lintas batas demi kemajuan bersama umat manusia.
Namun, dalam lima tahun terakhir, arah itu mulai bergeser. OECD mengamati adanya penurunan dalam jumlah kerja sama penelitian internasional, terutama antara negara-negara Barat dan Tiongkok. Alasannya sederhana namun sensitif: kekhawatiran terhadap kebocoran teknologi, spionase industri, dan dominasi ekonomi di sektor strategis seperti kecerdasan buatan (AI), semikonduktor, energi hijau, serta bioteknologi.
Sebagai contoh, banyak universitas di Amerika Serikat dan Eropa kini memberlakukan kebijakan ketat terhadap kolaborasi dengan peneliti dari negara yang dianggap “berisiko keamanan tinggi”. Pendanaan penelitian juga mulai diarahkan untuk mendukung proyek-proyek yang bisa memperkuat ketahanan nasional dan kemandirian teknologi.
2. Pergeseran Fokus: Dari Pengetahuan Umum ke Keamanan Strategis
Dalam konteks geopolitik yang tegang, riset kini bukan hanya tentang menemukan hal baru, tetapi tentang siapa yang menguasai pengetahuan tersebut terlebih dahulu. Negara-negara mulai melihat sains sebagai alat kekuatan nasional (science as power).
OECD mencatat bahwa semakin banyak negara mengembangkan strategi “teknologi strategis”, yang bertujuan melindungi pengetahuan penting dari pesaing global. Di Uni Eropa, misalnya, muncul kebijakan open strategic autonomy yang berfokus pada kemandirian rantai pasok teknologi kritis seperti chip, baterai, dan AI. Sementara Amerika Serikat mengembangkan CHIPS and Science Act untuk memperkuat produksi semikonduktor domestik sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor Asia.
Kecenderungan serupa terlihat di Asia Timur. Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok berlomba-lomba meningkatkan investasi dalam riset kuantum, keamanan siber, serta teknologi energi bersih. Tiongkok bahkan menjadikan “self-reliance in science and technology” sebagai slogan nasional, menekankan pentingnya berdikari di bidang teknologi tinggi untuk melawan tekanan global.
3. Dampak terhadap Komunitas Ilmiah Global
Perubahan arah kebijakan ini membawa konsekuensi besar bagi para ilmuwan di seluruh dunia. Dunia riset yang dulunya terbuka kini semakin tertutup. Banyak peneliti menghadapi kesulitan dalam berbagi data lintas negara atau mengikuti konferensi internasional karena keterbatasan regulasi keamanan.
Selain itu, pendanaan riset kini lebih diarahkan pada proyek yang memiliki nilai strategis. Penelitian dasar yang tidak langsung memberikan manfaat ekonomi atau militer sering kali diabaikan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sains murni — yang selama ini menjadi akar penemuan besar seperti internet, GPS, atau vaksin — bisa terpinggirkan.
Sebagian ilmuwan juga merasa terjebak di tengah dilema etis: apakah mereka harus mengikuti arah kebijakan nasional yang semakin politis, atau tetap mempertahankan semangat ilmiah yang bebas dan universal?
Namun di sisi lain, ada juga dampak positif. Fokus baru pada keamanan dan kemandirian teknologi mendorong investasi besar-besaran pada riset domestik, membuka peluang bagi inovasi lokal, serta menciptakan lapangan kerja baru di sektor teknologi tinggi.
4. Inovasi sebagai Instrumen Daya Saing Ekonomi
OECD menegaskan bahwa inovasi kini menjadi senjata ekonomi yang sama pentingnya dengan kekuatan militer. Negara yang mampu menguasai teknologi masa depan akan memimpin dalam perdagangan global dan keamanan energi.
Contohnya, penguasaan teknologi baterai dan kendaraan listrik tidak lagi sekadar urusan lingkungan, tetapi juga bagian dari strategi ekonomi global. Siapa yang menguasai rantai pasok litium dan nikel akan menguasai masa depan industri otomotif dunia.
Hal yang sama berlaku pada kecerdasan buatan (AI). Negara-negara berlomba menciptakan model AI generatif mereka sendiri, bukan hanya untuk bisnis, tetapi juga untuk keamanan data dan pengaruh budaya digital. OECD memperkirakan bahwa negara dengan infrastruktur AI yang kuat akan memiliki keunggulan kompetitif dalam hampir semua sektor — mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga pertahanan.
5. Tantangan Etika dan Keberlanjutan
Di tengah perlombaan teknologi ini, muncul pertanyaan besar: apakah dunia sedang menuju era “nasionalisme ilmiah” yang berlebihan? Ketika setiap negara berlomba untuk mendahului yang lain, nilai-nilai kolaborasi dan keterbukaan yang dulu menjadi dasar kemajuan ilmu pengetahuan mulai memudar.
OECD menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan kerja sama global. Isu-isu seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketahanan pangan tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Dibutuhkan pendekatan multilateral agar inovasi tidak hanya melayani kepentingan politik, tetapi juga kesejahteraan umat manusia.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa tekanan geopolitik dapat memperlebar kesenjangan teknologi antara negara maju dan berkembang. Negara-negara dengan sumber daya terbatas mungkin akan tertinggal karena tidak mampu mengimbangi kecepatan investasi riset negara besar.
6. Rekomendasi OECD untuk Dunia Riset Global
Dalam laporannya, OECD memberikan sejumlah rekomendasi strategis agar riset dan inovasi tetap menjadi kekuatan positif di dunia yang semakin terpecah:
-
Membangun kepercayaan lintas batas melalui standar transparansi dan perlindungan data yang disepakati bersama.
-
Menyeimbangkan kebijakan keamanan dengan kolaborasi ilmiah, terutama untuk isu global seperti energi bersih dan kesehatan.
-
Meningkatkan investasi dalam riset dasar agar pengetahuan fundamental tidak terabaikan di tengah perlombaan teknologi strategis.
-
Mengembangkan kebijakan inklusif yang melibatkan negara berkembang agar kesenjangan teknologi global tidak semakin melebar.
-
Mendorong etika dalam inovasi, termasuk tanggung jawab sosial dari teknologi baru seperti AI dan bioteknologi.
7. Menuju Masa Depan Ilmu Pengetahuan yang Lebih Tangguh
Perubahan besar dalam lanskap riset dan inovasi ini menunjukkan bahwa sains kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, persaingan global dapat mempercepat kemajuan teknologi secara luar biasa. Namun di sisi lain, jika tidak diatur dengan bijak, hal ini bisa menimbulkan ketimpangan dan fragmentasi ilmu pengetahuan dunia.
OECD optimis bahwa melalui kebijakan yang seimbang, dunia bisa menciptakan ekosistem inovasi yang lebih tangguh, aman, dan inklusif. Dunia sains harus mampu beradaptasi dengan realitas geopolitik tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pencari kebenaran dan pembawa kemajuan untuk seluruh umat manusia.
Kesimpulan
Laporan OECD 2025 membuka mata dunia bahwa riset dan inovasi bukan lagi sekadar urusan laboratorium, tetapi juga bagian penting dari strategi nasional. Sains kini menjadi arena baru dalam permainan geopolitik global. Tantangannya adalah bagaimana menjaga agar ilmu pengetahuan tetap menjadi kekuatan yang mempersatukan, bukan memecah belah.
Dengan kolaborasi yang cerdas, kebijakan yang inklusif, dan etika yang kuat, dunia masih memiliki peluang besar untuk menjadikan inovasi sebagai jembatan menuju masa depan yang aman, adil, dan berkelanjutan bagi semua.